8/15/2008

Banyak hal yang gak kuduga

(14/08)
Hahaha, batal dah ke kampus jam 8. Rencana mau merem bentar doang, eh kebablasan sampe jam 10. Jadinya ke kampus jam 11 deh! Astri ngajakin makan di PKL dulu. Aku pun pasang target ke UGM jam 13.00. Semoga belum terlambat.

Jam 12.00 sampe di xp. Ngurusin surat2 yang dibutuhin (lagi2 gw pegang kerja administratif. Beban sih, tapi lebih beban kalo nunggu orang lain utk ngerjain.saya butuh cepat!) minta tanda tangan. Karena belum ada jam 13.00 aku duduk2 dulu sambil becanda ma temen2. tiba2 ada tamu cari saya. Namanya Mas Sulis, wartawan Media Indonesia. Ybs mau wawancara ma pimred tentang makna pitulasan n seputar pemilu. Grogi bgt! Secara gw yang biasanya wawancara orang, skrg giliran gw yang jadi narasumber. Kurang lebih 10 menit wawancara, Mas Sulis menyudahi perbincangan sembari memfoto saya (duh, malu!).

Selesai wawancara, saya baru sadar setelah Mas Sulis pergi. Jawaban2 saya terlalu idealis. Jujur, saya memang gak kepikiran untuk nyoblos tahun depan. Apatis memang. Saya dah krisis kepercayaan ma pemerintah. Menurut saya, lomba2 pitulasan hanya hiburan semata bagi masyarakat yang setiap harinya pusing mikirin makan dan sekolah. Sebenarnya ,makna pitulasan gak pernah ada dalam benak mereka. Dan saya sangat yakin itu!

Jam 13.05, ditemenin rhea aku ke FIB UGM. Gak susah cari ruang kerja Pak Djoko. Berhubung ybs tidak ada, saya letakkan surat itu di atas meja kerjanya dan meng-SMS ybs. Selesai lagi satu tanggung jawabku.

Ada lagi yang menarik. Mas Aan SMS aku setelah berminggu2 gak aku perhatiin. Seneng sih tapi lagi gak punya pulsa (uang bulanan lagi dipake DP majalah). Gak nyangka ada pulsa masuk. Cuma goceng sih tapi berarti buat hatiku yang mpot2an. Tapi mas aan gak ngaku kalo dia yang kirim pulsa. It’s Oke! Makasih deh buat siapa aja yang ngirim pulsa.

Hari ini jam 9 malem dah pulang. Aku gak mau tidur larut. Supaya besok bangun pagi terasa fresh! Toh, kudu ke kampus pagi.

Hari ini aku puas!

Gak sangka semua targetku tercapai hari ini (13/08).

Jam 7.30 aku sudah ke kampus. Sempat susah bangun karena tidurnya subuh. EKSPRESI sepi. Aku mengutak-atik komputer membuat beberapa surat (secara sekretaris gw dah gak muncul2 lagi) sambil mengirim SMS ke beberapa orang. Sekalian ngenet. Membalas comment2 di FS dan membaca detik. Iseng ngubek2 google cari pembicara launching tgl 20 besok. Dapet CP Pak Djoko Dwiyanto, M. Hum dosen arkolog FIB UGM yang kebetulan juga salah seorang narasumber majalah. Saya pun mengirim SMS ke ybs, dan dibalas “Oke Mbak Riska, Insya Allah saya bisa.” Alhamdulillah, bisa sedikit bernapas lega.

Jam 10.30 meluncur ke stella duce 2 ma sigit n nora untuk ketemu Pak Yoto. Sekadar memberi bingkisan tanda terima kasih karena bersedia jadi subjek penelitian kami (sayang gak lolos pimnas). Basa-basi bentar pulang lagi ke kampus sekitar jam 11.00. Duduk2 di ruang tamu espansi xp, minta pulsa Yandri utk kasih tau sari supaya ke Jogja karena Budi bilang di spektrum masih missing font. Nunggu balesan, aku SMS lagi ke bu Ari minta tandatangan LPJ reportase. Ybs ada di dekanat FBS.

Sari blum bls (balesnya baru menjelang sore). Aku meluncur menemui Bu Ari. Yah, LPJ-nya dicoret-coret di BAB II. Bu Ari membebaskan aku untuk memperbaikinya atau gak, yang penting ke depan gak diulangi lagi. Saya pun bertekad memperbaiki untuk kepuasaan batin, walaupun Budi bilang cuek aja. Terus saya dpt kabar yang di spektrum ada Cahyo ma bu pimprush. Lega sedikit lagi.

Jam 1.30 ke rektorat ma Budi nyerahin 2 LPJ sekaligus. Setelah gak ada komplain dari kemahasiswaan, saya bisa menarik nafas. Beberapa tanggung jawab saya selesaikan dengan baik. Apalagi ngeliat Budi semangat karena dua proposal di-acc dengan jumlah lumayan. Jadi ikut semangat deh! Sampe xp aku kira dah bisa makan, eh pak PU minta dibuatin rincian anggaran majalah Rp8.500.000 ma dana ke Lombok Rp1.430.000 (hari ini saya merangkap jadi sekretaris).

Kelar ngeprint pukul 14.40, saya pun memutuskan pulang. Beli sayur ma lauk trus mampir spektrum sekitar 30 menit. Di spektrum seperti mau pingsan. Ngeliat orang hilir mudik, belum makan dari malam, masih juga missing font. Aku gak laper tapi lemes n perut terasa mual. Aku pun menunduk hingga mataku hampir terpejam. Aku pun pulang dan makan dengan terpaksa.

Jam 16.15 kembali lagi ke xp mau rapat expedisi edisi ospek. Ternyata teman2 masih rapat launching. Aku tidur sebentar di sofa dengan nyenyak. Dibangunin deh ma Ana pimpro. Ngomongin edisi Ospek sekitar 30 menit. Magrib menjelang. Bercengkrama sebentar terus pulang.

Sampai rumah tidur sampe jam 23.30. enak bgt rasanya. Nonton tipi sambil SMS-an ma Becak, terus nyalain kompi n ngetik-ngetik deh. Besok pagi harus ke kampus jam 8. mau ke UGM ketemu Pak Djoko. Ya udah deh tidur lagi. Dah jam 4 pagi!

sudah lama aku gak jatuh cinta

Memang seperti ada yang kosong terutama saat beristirahat setelah lelah beraktivitas. Seperti merasa sendirian. Sedih (tapi aku gak mau berlarut-larut)

Entahlah aku masih saja belum bisa melupakan dia. Laki-laki yang selalu membuatku bahagia. Aku masih menyayanginya tapi gak berani berharap lebih. Sayangnya, aku masih belum mampu berpaling…

aku sering ditikam cinta/pernah dilemparkan badai/namun aku tetap berdiri

Nyanyian Jiwa-iwan fals

jenuh

Mengapa mengulangi lagi kesalahan-kesalahan hidup?

Mengapa harus menerima semua yang tidak aku kehendaki?

Mengapa aku tak bebas memilih?

Mengapa aku dituntut sempurna?

Mengapa aku punya hati?

Mengapa aku harus jadi orang baik?

Mengapa aku dicela?

Lalu, mengapa aku pun harus selalu memaklumi semua ini?

8/12/2008

Sempat akan lahir sesar

Alhamdulillah, akhirnya majalah selesai sudah. Masih terbayang perjuangan selama kurang lebih 94 jam dikarantina untuk menyelesaikannya. Susah, senang, capek, bosen, bingung, linglung, bau, marah, sebel, was-was, cemas, putus asa, semangat, optimis, pesimis (wis ah!). Campur aduk! Walaupun fasilitas sangat lengkap, seperti 3 komputer, 3 laptop, kamera, KBBI, tesaurus, beberapa motor, printer plus scaner, snack, makan, rokok, tetap saja kepala jadi kaki-kaki jadi kepala. Wajar dong kami kan wartawan amatiran yg proses belajar menjadi profesional.

Thanks to dulu ya:

Aidil n Rusli

Makasih banget untuk tumpangan kontrakannya, komputer, dispenser, telepon, n hiburan tipi plus PS (walaupun aku gak pernah ikutan main, seenggaknya bisa buat refreshing temen2 meski sebentar). Maaf jadi gaduh dan berantakan. Maaf atas semua yang tidak berkenan di hati kalian. Spesial tuk Rusli, maaf aku sering mengingatkanmu untuk gak buru2 mudik meski kamu sudah sangat kangen dg istrimu di sana. Biarlah semua bilang aku cemburu (wek!), aku cuma ingin majalah ini kamu cetak. hehehe

Budi si pemimpin umum

Walaupun gak didampingi sekum, pak PU ini tiap pagi hingga sore tetap kekeuh hilir mudik ke rektorat demi dana majalah. Terima kasih, pak! Untuk dukunganmu, bantuanmu, n nasihat2mu.

Para pemimpin divisi (Bimo “kepsek”, Ana “Pimprush” , Aidil “pak JK”)

Apapun kondisinya, kita masih sering kelihatan bareng di depan kawan2. mudah2an ini tetap menjadi semangat mereka seperti halnya aksi-aksi yang pernah kita ikutin.

Redaktur Pelaksana (kiki), Redaktur Bahasa (kajol), Redaktur Foto(Yuli, Zila)

Salut buat kinerja kalian. Sregep! Gak banyak yang kuungkap untuk kalian. Tapi yakinlah tanpa kalian entah apa jadinya.

Tim Artisik (sari, bimo, cahyo, kresna)

SARI. Tak mungkin aku minta maaf atas harga yg harus kamu bayar karena ninggalin lokasi KKN selama hampir seminggu full! Karena kita terikat komitmen yang sama, “majalah”. Tapi aku akan terus mendukung pilihanmu. Membantumu keluar dari kesulitan. Seperti juga yg sudah aku bilang kalo kamu sudah bisa mengontrol emosi, semoga ke depan kamu bisa bertahan menjadi koordinator yang oke punya. Thx a lot ! BIMO, CAHYO, KRESNA. 2 makhluk ni kebanyakan misuh (asu n bajigur), sehingga dikutuk kentut mulu. Takjub saya di hari terakhir kalian justru banyak menyebut hamdalah dan istigfar. Salut buat kekompakan tim artistik!

Mbak dita, Mz obed, Mz Rodhi, Mz Ahmed, Mz Bono

Makasih atas kunjungan kalian. Sudah menyemangati, lho! Spesial buat mz ahmed, tengkyu banget dah dampingi kita sampai mau buat film-nya.

Yandri, Dafi, Islah, Warso, Mb Fina, Mami Tiwi,

Makasih dah menyokong semangatku dg bantuan-bantuan intelek maupun non-intelek (becandaan maksudnya) dari kalian yah! Buat mbak fina, puding n martabakmu lumayan ngenyangin perut trus bisa konsen mikir lagi deh! Nuwun sanget...

Mamiku di tanah seberang

Makasih ya, mamake dah bersedia menelponku. Ngasih aku semangat, becandaan, gosip, ngingetin minum susu, supaya jaga sopan santun di rumah orang, n ngingetin aku untuk pulang. Maaf sering membuatmu cemas karena anakmu yang paling caem dan bermasa depan cerah ini dah lupa jalan pulang. Tapi sekarang aku dah tidur di rumah, lho!

Tak lupa juga untuk home sweet home, EKSPRESI

Kadang aku benci bgt ma kamu krn sering bikin aku sengsara lahir batin. Tapi kenapa aku gak bisa ninggalin kamu? Digaji enggak tapi disiksa mulu. Yowis lah, aku toh tak bisa memungkiri mentalku habis2an kau tempa untuk bekal masa depan. Majalah ini kupersembahkan untukmu wahai EKSPRESI! Supaya kita punya bukti bahwa kau masih berjuang dg nafasmu dan hadir di tiap lini kaum intelektual!

Sudah saja. maaf jika ada yang tak tercantum. Mungkin lupa atau aku sengaja melupakan. Pokoke makasih tuk semua tim majalah atas perjuangan kalian menelurkan karya. Makasih juga buat yang nyemangati via SMS, dalam hati, ataupun dalam mimpi. Tabik!

Love,

Pemimpin redaksi

Opek si Tukang Siomay (si budi kecil part 2)

Inilah kawan, korban perceraian pasutri sesungguhnya. Setiap harinya, si kecil Opek tidak pergi ke sekolah. Tetapi berkeliling kampung menjajakan siomay menggunakan gerobak. Dorongan gerobaknya yang tertatih-tatih memancing rasa iba para kaum ibu. Bergegas para kaum ibu memanggilnya, berkilah membeli siomay karena doyan. Padahal mereka kasihan pada Opek. Tubuh mungilnya tak diimbangi tingginya gerobak siomay itu. Dengan berjinjit-jinjit, Opek membuka tutup dandang panas, menusuk butiran siomay panas dengan garpu. Begitulah cara Opek meladeni pelanggannya.

Selesai berjualan, Opek pulang ke rumah kakek-neneknya. Uang hasil tetesan kristal tubuhnya diberikan pada nenek. Segera Opek ke kamar menyua sang adik perempuannya. Adiknya tampak menelungkup, menutupi wajahnya dengan lipatan tangan yang bertumpu pada lututnya. Si adik tak ingin menunjukkan air matanya pada Opek. Dengan sayang, Opek membelai rambut si adik sambil berujar. Sepertinya menenangkan hati si adik tentang pola kehidupan mereka yang berubah haluan. Adegan seperti itu mengingatkan saya pada cerita Si Jamin dan Si Johan.

Lalu, ke mana sebenarnya si ayah dan si ibu? Ternyata mereka memilih untuk menentukan jalan hidup masing-masing tanpa memperebutkan buah hati mereka. Tapi justru menyia-nyiakan.

Saya sepakat kata Tukul dalam Otomatis Romantis bahwa yang kalah dalam perceraian bukan si ayah atau si ibu. Tetapi si buah hati keduanya.

8/04/2008

pagi memeluk dingin, siang pun harus melawan terik!

Pagi itu (seperti biasa) aku pulang pukul 05.00 pagi. Melalui rute yg sama, ­­––Karangmalang-Lembah UGM-Sagan-Mirota Kampus-Simanjuntak–– aku menerobos dinginnya Jogja (sempat kulihat suhu udara di Mirota Kampus) yang berada di suhu 24 derajat celcius. Aku berpakaian lengkap. Pakai jaket, kaos kaki, sarung tangan, slayer, dan muka tertutup helm. Jalan pd kecepatan 40, dengan segala atribut seperti itu masih saja gigi geligiku saling menekan satu sama lain menahan dinginnya pagi itu. Penjabaran ini hanya sebatas menggambarkan suasana pagi yang menyiksa walau hanya sebentar.

Ada satu hal yang mengusik pikiran dan perasaanku. Di mulai dari pintu gerbang barat FBS barat, aku kaget melihat 2 sosok ibu-ibu berpakaian lusuh. Sepertinya aku kenal? Oh, ternyata ibu-ibu yang biasa mengemis di kampus. Mereka berjalan sangat santai. Di tangannya sudah terpegang wadah penampung uang. Sepagi ini hendak mencari “lahan basah” di mana? Sudah sarapan belum? Hari ini hendak berburu rupiah sampai jam berapa? Pertanyaan2 itu bergantian muncul dalam otakku.

Ingin sebenarnya menggonceng ibu-ibu itu. Sekadar membelikan teh panas saja. Sayang, uang di kantong hanya cukup membeli bensin seliter. Aku menghibur diri dengan harapan si ibu segera dapat uang lebih dari harga seliter bensin.

Aku terkesima lagi. Sesampainya di depan jajaran penjual pigura sagan, beriringan bapak-bapak membawa tas ransel penuh berjalan, menyatu dengan dingin. Mereka tak berjaket, hanya menggunakan kaos oblong berlapis kemeja. Mungkin para pekerja bangunan. Lagi-lagi pertanyaan itu muncul. Ingin rasanya aku menyamai langkah mereka. Merasakan dinginnya pagi bersama. Berbicara tentang persiapan menghadapi kehidupan yang akan segera dihadirkan matahari beberapa puluh menit lagi. Aku ingat di bagasi motor ada rokok. Namun urung kuberikan. Rokok itu milik teman-teman layouter. Aku sedang bokek untuk mengganti sebungkus rokok. Membeli pembalut pun aku harus memutar otak.

Perjalanan semakin kuhayati. Tampak para pedagang menyiapkan dagangan. Motor kubelokkan ke Simanjuntak. Para petugas parkir Mirota Kampus sedang berkoordinasi, sebagian membersihkan halaman. Ada juga pemulung yang dengan giat mengais harta karun di tambang-tambang sampah. Aku kagum sekali dengan tekad mereka mengumpulkan uang.

Percayalah, pembelajaran ini hanya kudapat selama 10 menit saja karena pagi itu jalanan masih lengang!